Perang Panglima] Konspirasi Kudeta Militer 1998: Ada Pergerakan “Pasukan Liar” di Kediaman Presiden Habibie, Siapa Yang Mengerahkan? Prabowo Atau Wiranto?
Pada acara Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) 18 Desember 2012 lalu, Prabowo menyampaikan pernyataan yang cukup mengagetkan:
“Saya
Letnan Jendral mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan
Darat yang hampir Kudeta, Menyesal juga saya nggak jadi Kudeta”
Pernyataan
ini mungkin disampaikan tanpa ada niat sungguh-sungguh dari Prabowo,
tapi pernyataan itu mengingatkan kita akan luka sejarah yang pernah
terjadi di negeri ini.
Luka
sejarah itu terjadi ketika peristiwa peralihan kekuasaan dari rezim
Soeharto yang digulingkan setelah tiraninya menguasai negeri ini selama
32 tahun lamanya. Kemudian, pucuk kekuasaan pun beralih kepada wakil
presiden BJ.
Habibie yang
kemudian menggantikan Suharto, menjadi Presiden Republik Indonesia.
Namun pada kenyataannya dulu, posisi jabatan itu “menggiurkan” petinggi
lainnya dan berusaha “mengambil-alih” kekuasaannya yang hingga saat
ini masih penuh tanda tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Dua Praduga Tuduhan kepada Pangkostrad Letjen Prabowo
Dalam
sejarah yang tercatat di pikiran masyarakat Indonesia, Prabowo terkena
dua tuduhan serius di era peralihan kepemimpinan di tahun 1998.
Tuduhan yang pertama,
Prabowo disangka menjadi dalang kerusuhan yang terjadi di bulan mei
1998 yang banyak merengut nyawa dan terjadinya penjarahan, Kerusuhan
yang sangat terindikasi melibatkan konflik yang terjadi di internal
tubuh ABRI.
Bahkan Presiden Habibie membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta
(TGPF) untuk mencari keterlibatan Prabowo dalam kerusuhan 1998. Hingga
sampai saat ini hasil dari temuan TGPF tidak pernah disampaikan ke
masyarakat luas secara jelas, apa dan seberapa besar keterlibatan
Prabowo pada kerusuhan yang terjadi di tahun 1998 itu.
Tuduhan yang kedua, Prabowo dicurigai akan mengambil alih paksa kekuasaan pasca tergulingnya
Presiden Soeharto dari kekuasaan yang digantikan oleh Presiden Habibie.
Kecurigaan
itu berawal dari laporan Panglima ABRI yang saat itu dijabat oleh
Jendral Wiranto melapor ke Presiden Habibie bahwa ada konsentrasi
pergerakan pasukan Kostrad dibawah komando Prabowo di sekitar kediaman
Habibie, Yang kemudian disimpulkan tindakan Prabowo itu upaya untuk
melakukan Kudeta.
Pergerakan
pasukan Prabowo ini sangat dicemaskan oleh Presiden Habibie, karena
Prabowo sebagai Panglima Kostrad membawahi pasukan sebanyak 11.000
personel tentara yang oleh Presiden Habibie disikapi dengan
memerintahkan Wiranto untuk memberhentikan Prabowo sebagai Pangkostrad
dan diganti dengan Pangkostrad yang baru agar bisa menarik mundur
pasukan kostrad yang sudah memasuki kota Jakarta pada waktu itu.
Keputusan
pemberhentian oleh Habibie inilah yang menyulut kemarahan Prabowo, ia
menapik tuduhan akan melakukan Kudeta terhadap Kepemimpinan Presiden
Habibie.
Sebaliknya,
Prabowo justru beralasan bahwa pengerahan pasukan Kostrad di sekitar
rumah Habibie adalah atas perintah Wiranto sebagai Panglima ABRI untuk
mengamankan Presiden Habibie.
Kronologi “Gerakan Pasukan Liar” di Kediaman Presiden Habibie tahun 1998
Pergantian
pucuk pimpinan negara dari Presiden Soeharto kepada Habibie berujung
pada pencopotan Letjen Prabowo Subianto dari posisi Pangkostrad.
Saat itu 22 Mei 1998,
Habibie yang baru satu hari dilantik menjadi Presiden RI memiliki
segudang masalah untuk diselesaikan, utamanya adalah ekonomi dan
keamanan. Kondisi Ibu Kota Jakarta saat itu mencekam dan tidak menentu.
Bahkan, pengerahan pasukan militer saat itu seakan kurang
terkoordinasi.
Buku yang ikut melengkapi hazanah sejarah politik kontemporer Indonesia. B.J. Habibie merupakan salah seorang pelaku utama sejarah pada masa lahirnya reformasi di Indonesia. Fakta yang dihadirkan dalam buku ini otentik, berdasarkan catatan dan pengalaman pribadi pelaku sejarah yang belum pernah diungkapkan. Fakta yang ada, tidak diberi “hiasan” dan “warna”, tetapi disampaikan seperti apa adanya. (lihat buku online atau download versi PDF format ZIP atau download PDF
Buku yang ikut melengkapi hazanah sejarah politik kontemporer Indonesia. B.J. Habibie merupakan salah seorang pelaku utama sejarah pada masa lahirnya reformasi di Indonesia. Fakta yang dihadirkan dalam buku ini otentik, berdasarkan catatan dan pengalaman pribadi pelaku sejarah yang belum pernah diungkapkan. Fakta yang ada, tidak diberi “hiasan” dan “warna”, tetapi disampaikan seperti apa adanya. (lihat buku online atau download versi PDF format ZIP atau download PDF
Saat
baru tiba di Istana Negara, Presiden Habibie mendapat laporan dari
Menhankam/Panglima ABRI Jenderal Wiranto soal adanya pergerakan pasukan
Kostrad dari luar daerah menuju Jakarta.
Bahkan,
Jenderal Wiranto dalam laporannya saat itu menyatakan ada konsentrasi
pasukan tak dikenal di kediaman Presiden Habibie di Patra Kuningan,
Jakarta dan di Istana Merdeka.
“Dari
laporan tersebut, saya berkesimpulan bahwa Pangkostrad (Letjen Prabowo
Subianto) bergerak sendiri tanpa sepengetahuan Pangab (Jenderal
Wiranto),” kata Habibie dalam buku ‘Detik-detik Yang Menentukan’ karya Bacharuddin Jusuf Habibie, terbitan THC Mandiri (lihat buku online atau download versi PDF format ZIP atau download PDF) setebal 574 halaman itu.
Habibie sontak terkejut mendengar laporan tersebut. Dalam benaknya muncul berbagai pertanyaan dan praduga.
Tak
butuh waktu lama, Habibie saat itu juga langsung memerintahkan
Jenderal Wiranto untuk mencopot Letjen Prabowo dari posisi Pangkostrad
(Panglima Komando Strategi Angkatan Darat), sebelum matahari tenggelam.
Jenderal
Wiranto lantas melaporkan juga kepada Presiden Habibie bahwa sang
istri, Ainun Habibie, beserta anak dan cucu telah diamankan prajurit
ABRI menuju Wisma Negara.
Hal itu dilakukan untuk menjamin keamanan keluarga presiden karena banyaknya pasukan tak dikenal yang berkeliaran kala itu.
“Saya
bertanya kepada diri saya, ‘Mengapa keluarga saya harus dikumpulkan di
satu tempat? Apakah tidak lebih aman jikalau anak-anak dan cucu-cucu
saya tinggal di tempatnya masing-masing dan dilindungi oleh Pasukan
Keamanan Presiden? Mengapa harus dikumpulkan di satu tempat,” kata
Habibie dalam hati.
Selang
berapa jam kemudian, Letjen Prabowo datang menemui Presiden Habibie di
Istana Negara. Prabowo menanyakan soal pencopotannya. Dalam pertemuan
itu, Presiden Habibie menanyakan soal pergerakan pasukan dari luar
Jakarta menuju Istana Merdeka dan Kediamannya.
“Saya bermaksud untuk mengamankan presiden,” jawab Prabowo.
Namun
jawaban Prabowo itu dibantah Presiden Habibie. Menurutnya, keamanan
presiden menjadi tanggung jawab Paspampres, bukan Kostrad. Namun
Prabowo berkata :
“Atas
nama ayah saya, Prof Soemitro Djojohadikusumo dan ayah mertua saya
Presiden Soeharto , saya minta Anda memberikan saya tiga bulan untuk
tetap menguasai pasukan Kostrad,” kata Prabowo.
Namun Habibie menjawab dengan nada tegas:
“Tidak!
Sebelum matahari terbenam, Pangkostrad harus sudah diganti dan kepada
penggantinya diperintahkan agar semua pasukan di bawah komando
Pangkostrad harus segera kembali ke basis kesatuan masing-masing, dan
saya bersedia mengangkat anda menjadi duta besar di mana saja!”,” kata Habibie.
“Yang saya kehendaki adalah pasukan saya!” jawab Prabowo.
“Ini tidak mungkin, Prabowo,” tegas Habibie .
Ketika
perdebatan masih berlangsung seru, Habibie kemudian menuturkan bahwa
Letjen Sintong Panjaitan masuk sembari menyatakan kepada Prabowo bahwa
waktu pertemuan sudah habis.
“Jenderal,
Bapak Presiden tidak punya waktu banyak dan harap segera meninggalkan
ruangan,” kata Letjen Sintong Panjaitan yang saat itu menjabat sebagai
penasihat militer presiden.
Habibie Prabowo Dan Wiranto Bersaksi, yang ditulis oleh Asvi Warman Adam Setelah itu Prabowo menempati posisi baru sebagai Komandan Sekolah Staf Komando (Dansesko) ABRI menggantikan Letjen Arie J Kumaat.
Habibie Prabowo Dan Wiranto Bersaksi, yang ditulis oleh Asvi Warman Adam Setelah itu Prabowo menempati posisi baru sebagai Komandan Sekolah Staf Komando (Dansesko) ABRI menggantikan Letjen Arie J Kumaat.
Prabowo mengisahkan serah terima jabatan dilakukan secara sederhana dan tertutup.
“Belum pernah ada perwira tinggi dipermalukan institusinya, seperti yang saya alami,” kata Prabowo.
Selanjutnya,
Prabowo harus menjalani sidang Dewan Kehormatan Perwira. Prabowo
disinyalir terlibat dalam penculikan aktivis saat masih menjabat
sebagai Danjen Kopassus.
15 Perwira tinggi bintang tiga dan empat mengusulkan ke Pangab agar Prabowo dipecat.
“Saya
paham, dewan ini sudah bersidang dengan susah payah selama sebulan dan
orang-orangnya berpengalaman. Maka, saya (acc) setuju,” kata Wiranto .
Dalam judul buku : Habibie, Prabowo, dan Wiranto Bersaksi, (download versi DOC atau PDF) yang ditulis oleh Asvi Warman Adam dan Tim Kick Andy menyatakan:
“Buku-buku
yang ditulis Habibie, Wiranto, Fadli Zon dan Kivlan Zen (termasuk satu
bagian dari buku Sumitro Djojohadikusumo yang membela putranya) boleh
dikatakan sebagai buku putih yang mencoba menjelaskan posisi tokoh yang
bersangkutan, membela diri, dan menjelaskan kehebatan masing-masing.
Namun di sisi lain, buku itu juga mencari kambing hitam pada orang
lain.” (DR. Asvi Warman Adam, sejarawan dan ahli peneliti utama LIPI)
Asvi Warman Adam menyebutkan bahwa telah terjadi perdebatan Pangkostrad Prabowo dengan Presiden Habibie dikala itu :
“Dia
mengatakan kepada saya waktu itu – tepatnya kami berdebat, “Anda ini
presiden apa? Anda presiden naif!” Saya jawab, “Masa bodo. Yang penting
saya presidennya. Saya yang menentukan. Titik!.” (B.J. Habibie, mantan presiden RI, tentang Prabowo)
Maka, Presiden Habibie pun menolak permintaan Pangkostrad Letjen Prabowo untuk menunda pencopotannya.
Di
dalam bukunya pula, mantan presiden Habibie yang dikala itu menjabat
sebagai Presiden Republik Indonesia menyatakan alasan pencopotan
Prabowo.
Semua itu Habibie
lakukan dikarenakan adanya pengerahan pasukan dari daerah menuju ke
Jakarta yang dilakukan Letjen Prabowo tanpa koordinasi dengan Menhankam
/ Pangab Jenderal Wiranto.
Hal
itu sangat tidak baik saat itu, karena disaat kondisi Republik yang
masih genting, perbuatan Prabowo itu dapat mempengaruhi komandan lain
untuk berbuat sendiri-sendiri, tanpa koordinasi.
“Bukankah
kemarin pada Rabu pagi tanggal 20 Mei 1998 saya telah sampaikan kepada
Pangab bahwa saya tidak akan menerima kepala staf angkatan termasuk
Pangkostrad sendiri-sendiri tanpa sepengetahuan atau permohonan Pangab?
Ini berarti gerakan pasukan dari Kostrad tanpa sepengetahuan Pangab,
tidak boleh saya tolerir,” kata Habibie .
Namun menurut Prabowo lain lagi, ia menyatakan:
“Dalam
pertemuan hari Jumat, 22 Mei 1998, beliau bicaranya seperti itu, bahwa
Pak Harto yang minta. Tapi waktu di Hamburg, beliau mengatakan negara
superpower yang meminta.” (Prabowo Subianto, tentang keputusan Habibie mencopotnya dari jabatan Pangkostrad)
Sedangkan Wiranto lain lagi, ia menyatakan:
“Yang mampu atau yang mungkin melakukan kudeta hanyalah pangab. Saya sendiri.” (Jenderal (Purn) Wiranto, mantan Panglima TNI)
Sementara
itu, berdasarkan kesaksian penasihat militer Presiden Habibie, Letjen
(Purn) Sintong Panjaitan, situasi di jalan depan rumah Habibie di Patra
Kuningan saat itu sangat sumpek karena banyaknya prajurit ABRI.
Anggota Kopassus dan Paspampres kala itu berjubel di jalan yang
lebarnya hanya sekitar 6 m.
Saat
itu Paspampres meminta agar personel Kopassus mundur dari area
kediaman Presiden Habibie. Namun, personel korps baret merah itu
menolak.
Mereka hanya mau
pindah jika mendapat perintah langsung dari komandannya yang saat itu
adalah Danjen Kopassus Mayjen Muchdi PR. Saat itu mereka hanya menuruti
perintah agar mengamankan presiden.
Paspampres
yang kala itu di bawah komando Mayjen TNI Endriartono Sutarto pun
gusar. Pasalnya, saat itu mereka hanya dibekali peluru hampa.
Sementara, personel Kopassus saat itu dilengkapi peluru tajam.
Mayjen Endriartono kemudian menghubungi Letjen Sintong Panjaitan meminta agar segera dikirimkan peluru tajam.
Letjen
Sintong kemudian menghubungi bekas anak buahnya yang saat itu menjabat
sebagai Wadanjen Kopassus, Brigjen Idris Gasing. Letjen Sintong
meminta agar Brigjen Idris segera menarik pasukannya dari kediaman
Presiden Habibie.
“Gasing
coba perbaiki dulu posisi pasukanmu. Pasukan yang di sini tarik ke sana
dan yang di sini tarik ke situ. Kalau perlu adakan koordinasi dengan
Kodam Jaya agar semua dapat berjalan lancar,” kata Letjen Sintong
Panjaitan dalam buku ‘Perjalanan Seorang Prajurit PARA KOMANDO’ (lihat buku online atau download PDF) terbitan Kompas.
Brigjen
Gasing lantas bertanya situasi saat itu. “Komandanmu (Mayjen Muchdi
PR) sedang sibuk menghadapi penggantian jabatan. Tarik pasukanmu malam
ini juga. Kalau terjadi apa-apa, nanti kau yang disalahkan,” jawab
Letjen Sintong.
Brigjen
Gasing lantas melaksanakan perintah Letjen Sintong. Dia langsung
berkoordinasi dengan Panglima Kodam Jaya, Mayjen TNI Sjafrie
Sjamsoeddin. Akhirnya, sebagian personel Kopassus itu ditarik kembali
ke Serang, Jawa Barat dan sebagian lagi ke Kartosuro, Jawa Tengah.
Menurut Jenderal kepercayaan Prabowo soal Kerusuhan dan Isyu Rencana Kudeta 1998
Walau
sejumlah pihak menuding Letnan Jenderal (Letjen) Prabowo Subianto
sebagai otak kekacauan di Jakarta. Tetapi ada juga yang menilai
kerusuhan tersebut direncanakan oleh Jenderal Wiranto. Hal ini
diceritakan oleh Mayor Jenderal (Mayjen) Kivlan Zen dalam bukunya
bertajuk ‘Konflik dan Integrasi TNI-AD’ (download versi PDF).
Kivlan menilai seharusnya Jenderal Wiranto tak perlu meninggalkan Jakarta. Terlebih kepergiannya hanya untuk menjadi Inspektur Upacara dalam rangka serah terima tanggung jawab Pasukan Pemukul Reaksi Cepat
(PPRC) Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di Malang pada
hari Kamis tanggal 14 Mei 1998. Padahal saat itu Jakarta sudah genting.
Pembakaran dan kerusuhan terjadi di mana-mana.
“Serah
terima tanggung jawab PPRC ABRI dari Divisi I Kostrad (Komando
Cadangan Strategis Angkatan Darat) kepada Divisi II Kostrad walaupun
Pangkostrad (Panglima Kostrad) Letjen Prabowo Subianto telah
menyarankan agar tidak usah berangkat ke Malang,” tulis Kivlan pada
halaman 85 di buku terbitan Institute for Policy Studies tahun 2004 itu.
Prabowo
menilai hal ini tidak penting karena Kivlan telah menyiapkan
perpindahan itu semenjak Maret tahun 1998. Kala itu Kivlan masih
menjabat Panglima Divisi II Kostrad di Malang.
Selain
itu, menurut Kivlan, kekeliruan yang dilakukan oleh Wiranto adalah
tidak memberikan izin Mabes ABRI untuk meminjamkan pesawat Hercules
untuk membawa pasukan Kostrad dari Jawa Timur dan Makassar ke Jakarta.
“Karena
Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin sebagai Pangdam Jaya kekurangan pasukan dan
meminta ke Kostrad, maka Kostrad menyiapkan pasukan tersebut,” tulis
Kivlan.
Karena tidak
mendapatkan ijin dari Mabes ABRI, maka dengan menggunakan biaya pribadi
Prabowo menyewa pesawat milik Mandala di Makassar dan pesawat milik
Garuda di Surabaya. Hal ini dilakukan karena keadaan mendesak.
Pasukan
inilah yang dinilai Habibie sebagai “pasukan liar” dan bisa
membahayakan. Sejumlah kalangan bahkan menuding Prabowo hendak
melakukan kudeta.
Pengerahan alat berat seperti panser berikut pasukan di jalan-jalan utama di Jakarta saat Tragedi Trisakti 1998 , Kivlan mencatat setidaknya ada dua kekeliruan Wiranto strategis militer selama menjadi Jenderal. Pertama adalah meninggalkan tempat dalam keadaan gawat dan kedua, tidak menggunakan pasukan cadangan di saat genting. Menilai tidak bertanggungjawabnya Wiranto, maka beberapa pihak memutuskan untuk bertemu dengan Prabowo di Markas Kostrad pada malam harinya.
Setiawan Djodi, Adnan Buyung Nasution, Bambang Widjoyanto, Willibrordus Surendra Broto Rendra yang kerap disapa WS Rendra, Fahmi Idris, Maher Algadri, Hashim Djojohadikusumo, Amran Nasution, Din Syamsuddin , Fadli Zon , Amidhan, Iqbal Assegraf, Hajriyanto Thohari, Kolonel Adityawarman dan Kivlan sendiri.
Kedatangan
mereka adalah meminta Prabowo untuk mengambil alih keamanan, seperti
yang dilakukan oleh mertuanya, Soeharto pada tahun 1965 yang saat itu
menjabat sebagai Panglima Kostrad.
Namun permintaan itu tidak langsung di-iya-kan oleh Prabowo. Sebabnya, dia menilai situasi tahun 1965 dan 1998 sangat berbeda.
“Masih
ada Panglima ABRI Jenderal Wiranto , KSAD Jenderal Subagyo HS, Wakil
KSAD Letjen Sugiono. Panglima Kostrad berada pada level ke-empat,”
terang Kivlan.
Namun kenyataan berkata berbeda. Karena Tim Gabungan Pencari Fakta
(TGPF) justru menyimpulkan bahwa pertemuan di Markas Kostrad tersebut
sebagai rapat untuk merancang kekacauan di Jakarta. Kivlan menilai TGPF
melupakan hal terpenting dalam menyimpulkan pertemuan tersebut.
Berikut
merupakan sedikit informasi berita tentang apa yang tengah terjadi
pada waktu itu, yang dilansir dari media online Kompas, 16 Mei 1998,
mengenai ratusan penjarah yang tewas terpanggang dan kondisi Jakarta
saat itu :
“Ratusan
penjarah tewas terpanggang dalam peristiwa kerusuhan yang melanda
Wilayah DKI Jakarta sepanjang Kamis (14/5). Menurut Kadispen Mabes
Polri Brigjen (Pol) Drs Da’i Bachtiar, Jumat, jumlah korban yang tewas
di wilayah DKI saja sekitar 200 orang. Jumlah itu belum termasuk 20
korban tewas akibat terjatuh saat berusaha meloloskan diri dari
kepungan asap dan api.”
“Sedangkan
di Kotamadya Tangerang, jumlah penjarah yang tewas terpanggang sekitar
100 orang. Jasad-jasad para korban sebagian besar dalam keadaan
hangus.” (dari Media Online Kompas, 16 Mei 1998).
Perang Panglima
Rivalitas, katakanlah
begitu antara Wiranto dengan Prabowo menyiratkan persaingan keduanya
untuk memperebutkan simpati Presiden Soeharto ketika itu. Meski
kalangan militer membantah hal tersebut, namun beberapa fakta
menunjukkan ke arah itu.
Ketika
Wiranto menjabat Pangab, ada beberapa usulan Prabowo yang
dimentahkannya. Misalnya Prabowo ingin Kopassus mempunyai pasukan tank
dan penerbang.
Jenderal Wiranto, seperti dalam bukunya ”Bersaksi di Tengah Badai” tahun 2003 mengatakan jika Kopassus punya tank dan pesawat, pasukan ini akan kehilangan kekhususannya.
Soal tank, biarlah pasukan kavaleri yang memilikinya, sedangkan pesawat, itu urusan Penerbad.
Sudah
menjadi rahasia umum di kalangan ABRI waktu itu, bahwa Kopassus di
bawah Prabowo benar-benar memiliki sistem persenjataan yang mutakhir.
Konon, setiap senjata modern yang dimiliki pasukan elite asing, juga
harus dipunyai Kopassus.
Wiranto Tegur Prabowo
Wiranto
sendiri tak pernah mengakui adanya rivalitas antara dirinya dengan
Prabowo. Misalnya, Wiranto setuju ketika Prabowo yang relatif sangat
muda, 46 tahun, sudah berbintang dua, dipromosikan menjadi Pangkostrad
dengan pangkat Letjen.
Padahal
waktu itu masih banyak rekan seangkatan Prabowo (Akabri 74)
berpangkat colonel bahkan mungkin Letkol. Perwira yang juga menonjol
waktu itu adalah Pangdam Jaya Mayjen Safrie Sjamsoeddin, keduanya satu
angkatan di Akabri Darat.
Apakah
langkah saya ini merupakan tindakan orang yang merasa disaingi atau
terancam kedudukannya? Kalau demikian halnya, maka saya berangkali
termasuk golongan orang yang sangat bodoh, mempromosikan pesaing saya,
kata Wiranto kepada Yuddi Chrisnandi, tokoh muda Partai Golkar, dalam
bukunya ‘Reformasi TNI Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia’.
Suasana Tragedi Trisakti 1998, Tampak korban tergeletak tak bergerak saat terjadi penyerangan tentara e Univ. Trisakti yang akhirnya diketahui bernama Rizky Rahmawati Pasaribu. Menurut catatan, Prabowo dan Sjafrie adalah perwira yang paling cemerlang saat itu. Keduanya masuk dalam pasukan elite Kopassus, bolak-balik ke Timtim. Sjafrie sejak perwira pertama berada di Paswalpres (kini Paspampres, Red). Sampai ia menjabat Dan Grup A dengan pangkat kolonel di pasukan tersebut. Karena jabatannya itu, kemanapun Presiden Soeharto pergi, Sjafrie paling jauh hanya dua-tiga langkah dari Presiden.
Ketika Kolonel Sjafrie dipromosikan sebagai Danrem Suryakencana Bogor, Kolonel Prabowo menjadi Wakil Komandan Kopassus. Keduanya terus beriringan. Prabowo kemudian dipromosikan menjadi Dan Kopassus, berpangkat Brigjen. Sjafrie pun ditarik ke Jakarta menjadi Kasdam. Pangkatnya juga naik menjadi Brigjen.
Sementara
itu Kopassus di bawah Brigjen Prabowo terus berkembang baik personel
maupun peralatannya. Jabatan Dan Kopassus diubah menjadi Danjen
Kopassus, bintang di pundak Prabowo bertambah satu menjadi Mayjen.
Sementara itu Sjafrie pun menjadi Pangdam Jaya berpangkat Mayjen.
Tragedi
Trisakti 1998″ yang menewaskan beberapa mahasiswa adalah batas puncak
kesabaran rakyat. Setelah mengetahui adanya korban dari kalangan
mahasiswa, maka rakyat mulai bergerak ke jalan dan Mulai membakar
mobil-mobil dan toko-toko, lalu terjadilah “Kerusuhan 1998″. Kemudian
mahasiswa mulai menguasai Gedung MPR / DPR Senayan Jakarta dan meminta
presiden Suharto untuk mengundurkan diri.
Tidak banyak
Danjen Kopassus yang langsung dari jabatan itu langsung menjadi Panglima
Kostrad. Barangkali cuma dua perwira, yakni Dan Kopassus Brigjen
Kuntara dan Mayjen Prabowo.
Biasanya seorang koman dan
Kopassus harus menjadi Pangdam terlebih dulu, setelah dari Danjen,
sebelum dipromosikan menjadi Pangkostrad. Tapi Prabowo memang istimewa
ketika itu. Dan, seperti dikemukakan di atas Pangab Jenderal Wiranto
tidak mengganjalnya.
Kalangan internal militer tak
menganggap isu soal rivalitas antara Wiranto dengan Prabowo sebagai
sesuatu hal yang menganggu konsolidasi ABRI. Begitupun dengan dugaan
adanya pengelompokan perwira yang pro-Wiranto dan yang pro-Prabowo,
tidak memiliki argumentasi yang kuat sebagai indikasi adanya
pengelompokan dalam tubuh militer.
Sebagai mana
lazimnya, jika militer saat itu bertindak pro-Wiranto karena jabatannya
sebagai Pangab, sedangkan Prabowo mengendalikan pasukan yang ruang
lingkupnya lebih kecil, yaitu Kostrad.
Rizky Rahmawati Pasaribu pada saat kini, ia adalah korban penembakan saat kerusuhan Mei 1998 yang tergeletak tak bergerak diatas aspal. Fotonya yang heboh tentang dirinya pada masa itu sempat menyeber ke seantero dunia. (merdeka.com/arbi sumandoyo)
Ketika
penculikan mahasiswa sekitar Maret-April 1998 yang dilakukan oleh
oknum Kopassus, nama Pangkostrad Letjen Prabowo terseret demikian
halnya dengan Danjen Kopassus Mayjen Muchdi PR. Di dalam kalangan
militer sendiri, mungkin banyak yang tidak tahu operasi dan tujuan
penculikan tersebut.
Jenderal
Wiranto kemudian mengeluarkan telegram No. STR/441/1998 tertanggal 20
Maret 1998 yang menginstruksikan jajaran ABRI yang terlibat penculikan
itu untuk diproses dan diinstruksikan agar melepas para aktivis yang
diculik.
Internal ABRI
memperkirakan penculikan itu diketahui oleh Pak Harto sebagai Presiden,
meski sejauh mana kebenaran pekiraan itu sulit dibuktikan. Awal Mei
1998, Pangab Jenderal Wiranto di depan Kassospol Letjen Susilo Bambang
Yudhoyono, dan Kepala Bais ABRI Mayjen Zacky Anwar Makarim menegur
keras Letjen Prabowo.
Menurut Wiranto, Prabowo mengaku penculikan mahasiswa itu atas inisiatifnya
Menurut
putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo itu, operasi intelijen
yang berbuntut penculikan tersebut sengaja tidak dilaporkan ke
atasannya, KSAD atau Pangab, karena dia tidak ingin merepotkan dan
melibatkan Mabes ABRI.
Sudah
tentu jawaban Prabowo ini mengejutkan Wiranto. Memang, jika muncul
adanya dugaan rivalitas diantara kedua perwira tinggi itu, Wiranto
lulusan AMN 68 dan Prabowo lulusan Akabri Darat 74, banyak yang
mengatakan hal itu untuk memperebutkan kepercayaan dari Pak Harto.
Pada 16 Mei 1998
di Wisma Yani, Menteng, Jakarta, Jenderal Wiranto didampingi Kassospol
Letjen Susilo Bambang Yudhoyono dan Assospol Kassospol Mayjen
Mardiyanto menerima Ketua Umum NU Gus Dur.
Pada
pertemuan tersebut, Wiranto mengajak NU untuk membantu upaya ABRI
memulihkan konsolidasi nasional dan mencari solusi terbaik menghadapi
kemelut yang sedang berlangsung waktu itu.
Dalam
kesempatan itu Gus Dur menyatakan dukungannya. Kemudian Wiranto
menugaskan Mayjen Mardiyanto untuk membuat pernyataan pers, berisi lima
butir.
Entah
bagaimana, konsep pernyataan pers yang belum diteken Jenderal Wiranto
itu sampai ke tangan Letjen Prabowo, kemudian disampaikan ke Pak Harto
malam hari.
Wiranto
menjelang tengah malam mendapat laporan perbuatan Prabowo tersebut.
Menurut Wiranto tindakan Prabowo yang sudah di luar jalur norma
keprajuritan itu membuat dirinya merasa diragukan kesetiaannya oleh Pak
Harto.
Tanggal 17 Mei seusai subuh,
Wiranto datang ke Pak Harto di kediaman Jalan Cendana untuk
mengklarifikasi laporan Prabowo tersebut. Dari Pak Harto, Wiranto
mengetahui secara lengkap apa yang dilaporkan oleh Prabowo.
Tersirat
bahwa Wiranto telah berkhianat terhadap Pak Harto. Wiranto menjadi
gundah. Dia menyatakan jika Pak Harto sudah tidak lagi mempercayainya,
dirinya siap mundur dari jabatan, sambil meyakinkan bahwa apa yang
dilaporkan Prabowo tidak benar adanya. Namun Pak Harto menolak
permintaan pengunduran diri Wiranto.
Usai
diterima Pak Harto, saat mau keluar, Wiranto berpapasan KSAD Jenderal
Subagyo HS, Pangkostrad Letjen Prabowo dan Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie
Sjamsoeddin.
Disitulah Jenderal Wiranto menumpahkan kekesalannya kepada Letjen Prabowo, disaksikan Subagyo dan Sjafrie.
Kemudian
Wiranto menanyakan maksud kedatangan mereka satu persatu. Subagyo
mengatakan dirinya dipanggil oleh Pak Harto, Prabowo mengaku datang
atas inisiatifnya sendiri, sedangkan Sjafrie datang karena kebetulan
lewat dan mampir. Tapi pagi itu, hanya Subagyo yang diterima resmi oleh
Presiden.
Dalam pertemuan itu Pak Harto menyatakan ingin mengeluarkan Inpres tentang pemulihan keamanan dengan membentuk lembaga Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Keselamatan Nasional. Pak Harto bertanya apa KSAD siap menerima tugas itu?
Sebaliknya
Subagyo pun balik bertanya, bagaimana dengan posisi Jenderal Wiranto,
sebagai Panglima ABRI apakah otomatis diganti olehnya? Jika tidak,
Subagyo tidak mau.
Dia
menyarankan agar pemegang atau pelaksana Inpres tersebut harus dipegang
oleh pimpinan ABRI sehingga tidak menimbulkan dualisme komando dalam
tubuh ABRI.
Perasaan
Wiranto menjadi tak menentu atas sikap Pak Harto itu. Apakah ini
pertanda menurunnya kepercayaan Pak Harto terhadapnya? Hanya Pak Harto
yang tahu.
Menurut
Wiranto, bagaimana mungkin sebuah komando operasional pemulihan
keamanan terpisah dari struktur komando Pangab selaku penanggung jawab
keamanan nasional?
Tanggal 18 Mei sore hari,
beberapa perwira tinggi menghadap Pak Harto di Cendana, secara
terpisah. Hadir Pangkostrad Letjen Prabowo, Pangdam Jaya Mayjen
Sjafrie, KSAD Jenderal Subagyo, dan Pangab Jenderal Wiranto.
Masing-masing
melaporkan perkembangan situasi sesuai dengan ruang lingkup tugas dan
kewenangannya. Tidak ada pesan khusus Pak Harto kepada mereka.
Menurut
penuturan Mayjen Sjafrie, ia datang ke Cendana hari itu sekitar pukul
15.00. Juga dipanggil KSAD namun waktunya tidak bersamaan, tempatnya
pun beda.
Sjafrie tidak
tahu apa yang dibicarakan Pak Harto dengan KSAD. Dia hanya disuruh
menunggu oleh Pak Harto, sementara Pak Harto ke ruang lain untuk
berbicara dengan KSAD.
Saat
kembali, Pak Harto bertanya kepada Sjafrie apa yang diketahuinya,
Pangdam Jaya itu menjawab cepat dan jelas soal Gus Dur yang menegaskan
bahwa NU akan ikut ABRI.
Namun
Pak Harto memotongnya, bukan itu yang dimaksud. Coba kamu tanya ke
KSAD, perintah Pak Harto. Sjafrie pun menemui Subagyo di ruang lain.
Berkumpullah di ruang itu Sjafrie, Subagyo dan Prabowo.
Kemudian
datang Wiranto, dan kepada Pak Harto menyerahkan Inpres No.16/1998,
yang memberikan kewenangan kepadanya selaku Panglima Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional.
Pada saat menyerahkan, tidak ada pesan Pak Harto untuk
melaksanakannya. Wiranto pun memutuskan untuk tidak menggunakan Inpres
tersebut guna menghindari pertumpahan darah.
Hal
ini juga dibicarakannya dengan Kassospol Letjen Susilo Bambang
Yudhoyono di Mabes TNI Merdeka Barat. Kalau begitu saya ikut
jenderal, kata Yudhoyono sambil menyalami Wiranto.
Kamis 21 Mei 1998,
Presiden Suhato mengumumkan pengunduran dirinya. Sejak itulah
momen-momen penting terus bergulir. Pak Harto lengser digantikan oleh
Wapres BJ Habibie.
Jumat 22 Mei 1998,
Panglima Kostrad Letnan Jenderal Prabowo Subianto bergegas memasuki
halaman Istana, namun sebelum masuk dia dicegah oleh Dan Paspampres
Mayjen Endriartono Sutarto.
“Maaf
Jenderal, semua perwira harus menanggalkan senjata sebelum bertemu
Presiden,” pinta Endriartono. Prabowo menahan perasaan sambil melepas
pistolnya, dia pun menemui Presiden BJ Habibie di ruang tamu Wisma
Negara.
Kemudian terjadilah dialog seperti yang diuraikan Habibie dalam bukunya Detik-detik yang Menentukan.
Buku itu ditanggapi serius oleh Prabowo. Maklum dialah yang paling
terserempet dari apa yang ditulis Habibie dalam buku itu. Dia ingin
meluruskan apa yang sebenarnya terjadi menurut penafsirannya.
Kemudian, sempat terjadi dialog dalam bahasa Inggis, sebelum akhirnya Prabowo berbicara dengan nada tinggi.
“Ini
penghinaan bagi keluarga saya dan keluarga mertua saya Presiden
Soeharto . Anda telah memecat saya sebagai Pangkostrad,” tegas Prabowo
dikutip dalam buku “Prabowo: Ksatria Pengawal Macan Asia” karya Femi Adi Soempeno dan Firlana Laksitasari.
Habibie menjawab, “Anda tidak dipecat, tapi jabatan anda diganti.”
Prabowo
balik bertanya, “Mengapa?” Habibie kemudian menjelaskan bahwa ia
menerima laporan dari Pangab bahwa ada gerakan pasukan Kostrad menuju
Jakarta, Kuningan, dan Istana Negara.
Terlepas
dari benar tidak buku itu, memang bisa dirasakan bahwa ketika itu
terjadi rivalitas meski sulit dibuktikan, antara Pangab Jenderal
Wiranto dengan Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto. Ada yang menyebut
persaingan keduanya mencuat sejak 1997, dimana ketika itu Wiranto
menjabat kepala staf angkatan darat sedangkan Prabowo sebagai Dan
Kopassus.
Jenderal Wiranto
tetap berada di posisinya, beberapa kali ia menolak pinangan menjadi
calon wakil presiden, sedangkan Letjen Prabowo dimutasikan menjadi Dan
Sesko ABRI di Bandung.
Beberapa
waktu kemudian Wiranto menyetujui rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira
(DKP) untuk memberhentikan Letjen Prabowo dari dinas kemiliteran.
Selesaikah Perang Panglima? Dan Kini Menjadi Perang Jenderal?
Sementara
itu, perseteruan, katakanlah begitu antara Wiranto dengan Prabowo
tampaknya sirna manakala keduanya ikut dalam konvensi Golkar tahun
2003.
Waktu
itu Wiranto mengungguli empat saingannya antara lain Prabowo. Masih
mengenakan jaket kuning Wiranto mendatangi dan menyalami Prabowo yang
duduk di ujung, keduanya bersalaman dan tertawa lepas.
Ini
membuktikan bahwa apa yang sebenarnya terjadi dari polemik peralihan
kekuasaan pada 1998 masih menjadi awan gelap dalam sejarah republik
kita ini. Semuanya hanyalah strategi politik dan perebutan kekuasaan
semata, yang tak akan pernah abadi.
Manusia
kadang tak pernah belajar, walau mengaku telah belajar. Semua hanyalah
nafsu duniawi semata, mirip Fir’aun yang menginginkan kaya raya,
memproklamirkan dirinya menjadi tuhan, merasa hebat, namun akhirnya
mati jua hanya oleh nyamuk kecil yang masuk ke telinganya?
Kerusuhan Mei 1998 Murni Operasi Militer!
Pemerintah
tidak penah menindaklanjuti dengan proses hukum soal laporan
investigasi disusun oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998.
Namu.n
anggota TGPF Sandyawan Sumardi mengatakan kasus Mei 1998 adalah
tragedi kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Dia
memperkirakan kekacauan pada tanggal 13, 14, dan 15 itu menewaskan
1.880 orang!
“Jumlah
korban jiwa itu sangat besar dibandingkan Perang Diponegoro,” kata
Sandyawan di kantornya di bilangan Kampung Melayu, Jakarta Timur.
Pemerintah
telah menyerahkan hasil penyelidikan TGPF Mei 1998 itu ke Kejaksaan
Agung, namun sampai saat ini belum ditindaklanjuti hingga penyidikan.
Dia menuding Kejaksaan Agung tidak berniat menyelesaikan kasus kejahatan kemanusiaan itu dengan alasan menunggu terbentuknya Pengadilan Hak Asasi Ad Hoc.
Sandyawan
menilai pemerintah sejatinya sejak awal tidak pernah menginginkan
pembentukan TGPF. Tim ini terbentuk atas desakan negara-negara sahabat
untuk mencari tahu penyebab kerusuhan dan penuntasannya. Komisi itu
melibatkan semua departemen.
Lagi pula hasil dari temuan Tim Gabungan Pencari Fakta
(TGPF) bentukan Presiden Habibie untuk mencari keterlibatan Prabowo
dalam kerusuhan 1998, juga tidak pernah disampaikan ke masyarakat luas secara jelas.
Apa
dan mengapa serta seberapa besar keterlibatan tokoh tentara seperti
Prabowo, Wiranto dan juga tokoh-tokoh sipil lainnya seperti Amin Rais,
Sri Bintang Pamungkas dan juga orang-orang yang mengadakan pertemuan
dengan Prabowo di Markas Kostrad pada malam harinya. pada kerusuhan
yang terjadi di tahun 1998 itu, semua tak jelas dan tak ada laporan
resmi yang pasti.
Sampai
sekarang misalnya, kasus pembunuhan dan pemerkosaan massal itu sungguh
sulit diungkap. “Kerusuhan Mei adalah operasi militer murni,” Sandyawan
menegaskan.
Temuan
tim pencari fakta di beberapa kota, seperti Medan, Jakarta, Solo,
Lampung, Palembang, dan Surabaya kian membuktikan keterlibatan militer.
Dia menyebutkan kerusuhan di kota-kota itu selalu terjadi dengan
sistematis, jumlah korban banyak, dan luas.
Meski
begitu mantan Panglima ABRI Jenderal Wiranto dan bekas Komandan
Jenderal Kopassus Letnan Jenderal Prabowo Subianto disebut-sebut
bertanggung jawab dalam kerusuhan Mei telah membantah.
Pernyataan
Prabowo tentang Kudeta diatas, harusnya juga menjadi momen penting
kita sebagai warga negara yang menuntut kejelasan tentang apa yang
sebenarnya terjadi pada era itu.
Apalagi
saat ini Prabowo maju menjadi capres pada pemilu 2014. Bisa jadi pun
Wiranto ikut kembali. Bijakkah calon pemimpin yang masih terbelenggu
masalah sejarah kelam bangsa ini mengajukan diri untuk menjadi pemimpin
bangsa???
Berapa banyak
anak bangsa yang telah meregang nyawa pada tahun 1998 dari Sabang
hingga Merauke untuk melepas rantai dari belenggu New Order atau Orde Baru agar jauh-jauh lebih bebas menerima dan mendapat segala informasi seperti sekarang?
Alangkah lebih Bijak jika calon pemimpin itu membersihkan namanya dari luka sejarah yang terjadi dalam proses kelam bangsa ini.
Berilah
pendidikan positif bagi rakyat dan generasi muda bangsa ini tentang
bagaimana melihat seorang pemimpin. Jangan biarkan sifat mudah
melupakan sejarah yang dimiliki sebagian besar masyarakat menjadi
kebiasaan dalam proses bernegara bangsa ini.
Banyak
kalangan berpendapat, sebaiknya tokoh-tokoh yang terlibat langsung
dengan peristiwa seputar 21 Mei 1998, mengungkapkan apa yang mereka
tahu dan rasakan. Dengan demikian masyarakat sendiri yang akan menilai
siapa yang benar siapa yang tidak benar. Atau biarkanlah sejarah
mengalir seperti apa adanya?
Jika
memang ingin menjadi Pemimpin Bangsa dengan niat yang baik, maka
awalilah dengan niat yang baik pula. Bersihkanlah nama dari noda
sejarah. Karena rekam jejak atau track record, sejatinya tak akan pernah bisa dihapus. Karena Sejarah adalah Fakta, dan Fakta adalah Sejarah. Semoga bermanfaat. Wassalam. (admin)
(sumber: merdeka / kompasiana / uniqpost.com / alloutabout.wordpress.com / ifeschool.wordpress.com / majalahkonstan / edited, added, grammar: IndoCropCircles)
baca artikel menarik lainnya dari sumber artikel berita diatas : indocropcircles.wordpress.com
0 komentar:
Post a Comment
komentarlah yang bijak dan membangun
Bila mengambil artikel , tautkan link http://kompalkampul.com